Review Jurnal Koperasi 12
a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
b. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Bayu Krisnamurthi
Setelah
melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias
pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam
masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan
yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi
krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat
keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang
strategis pada masa yang akan datang.
a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan
beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat,
walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk
eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama,
koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha
tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa
pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau
kegiatan lain. Pada tingkatan ini
biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh
lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat
adanya hambatan peraturan. Peran
koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas
pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.
Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam
menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur
yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang
dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan
dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi
lembaga usaha lain. Pada kondisi ini
masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik
dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan
anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan
rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang
lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha
tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih
baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi
Kredit.
Ketiga,
koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor
utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit,
yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama
koperasi menghadapi kesulitan tersebut.
Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan
tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota
tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan
dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani,
merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga
bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas,
maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi
organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik
dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun
diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi
koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena
berbagai faktor. Faktor utamanya adalah
ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’,
serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan
masyarakat. Kondisi ini telah menjadi
sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada
masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha
koperasi. Alasan utama kebutuhkan
tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi,
seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition),
peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada,
serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya)
dari kegiatan anggota. Alasan lain
adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang
tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang
disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana
bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat
potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk
memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik
lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan
kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola
hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan
bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam
pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.
Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus”
dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang
berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling
berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak
lainnya.
Dari
beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota
yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang
membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil
ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola
hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian
berkembang menjadi loyalitas. Pola yang
tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut
kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis
banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru
menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah
anggota.
b. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan
pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang
terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi
sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor
fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat.
Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis
dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah
tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki
ekonomi secara mandiri.
Masyarakat
yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan
kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat
bagi keberdaan koperasi. Kesadaran ini
akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan
kemandirian. Dengan demikian masyarakat
tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri
sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri.
Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen
bagi kemampuan sendiri tersebut.
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat
kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Koperasi
pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk
prinsip-prinsip dasar. Wujud praktisnya,
termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan
anggotanya. Dengan demikian format
organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan
sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk
kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan
anggota. Pengalaman pengembangan KUD
dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi
terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru
adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan
masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses
pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor
pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat
nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara
sadar dalam organisasi lain. Oleh sebab
itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi,
kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya
merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya
kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan
koperasi. Sehingga salah satu faktor
fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip
koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi.
Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi
dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan
setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi
dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik
menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi
yang universal tersebut. Dengan demikian
proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu
faktor penentu keberadaan koperasi.
4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan
manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan
kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
Hal
ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan
hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota
atau tidak menjadi anggota. Jika
terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima
anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif
untuk menjadi anggota koperasi. Pada
gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas
anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi
itu sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan
kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan
anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi
anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha
anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota
mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam
kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan
usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait
dengan kepentingan anggota. Salah satu
indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota
berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak
dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat
diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota
koperasi.
Biaya
transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan
kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa
koperasi. Hal ini akan menjadi penentu
apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat
bisnis. Jika biaya transaksi tersebut
memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas
modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan
oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan
dalam sistem koperasi. Pengalaman
sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya
lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem”
koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi
dan anggotanya. Hal ini memang merupakan
salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem
perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini.
Jika
koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha
koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar
yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha
anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai
indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota
harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor
tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
Jika
dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat
dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga
berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu
tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional
primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan
sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga
dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.
Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada
masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’
dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat
individualis, dan berorientasi kapital.
Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang
optimal disemua bentuk komunitas.
Sebagai
bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu
disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat
‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha
konvensional. Proses yang dilakukan
dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan
berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor
fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti
pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh
kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam
kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka
mau tidak mau peran dan juga kedudukan
koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam
kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran
kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain,
seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.
Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk
beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan
prinsip koperasi.
Beberapa
koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha
yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang
bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah
menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk
usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan
wilayah kerjanya masing-masing. Pada
koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan
usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian
Indonesia. Pada prakteknya, banyak
koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan
usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi
kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan
prinsip koperasi. Jika tidak
diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan
koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal
yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan
kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai
ketentuan bank. Sehingga akhirnya
‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus)
sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan
melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek
hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi
tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan
perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil
untuk berkembang.
Koperasi
(KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan
ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat
kontrak yang tepat, dan sebagainya.
Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana
atau kepada siapa harus bertanya. Hal
yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi
di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi
pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah
semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi
ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau
mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa
pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi
kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha
besar. Para pengusaha tersebut juga
masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku
tersebut. Mereka ingin berkoperasi
tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha
kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau
untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan
presisi produk yang dihasilkan.
Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan
untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi
keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada
berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi
pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai
satu perusahaan (badan usaha). Tantangan
untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya
dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha
antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya
telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha
yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha
antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk
dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai
negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci
keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar
koperasi. Mengenai hubungan koperasi
primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial
karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak
berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan
usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih
lemah. Telah cukup banyak usaha yang
dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat
parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan
yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri
tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan
kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau
sudah tidak, seperti yang diharapkan.
Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap
koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan
dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua
Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena
berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan
sebagainya. Di media massa, berika
negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya
(PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita
yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai
daerah cukup banyak dan berarti. Citra
koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan
pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’
tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi,
sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan
kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai
sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.
Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah
satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8.
Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para
pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan
menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi
pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai
kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut
juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan
kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang
dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal
(primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat
menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu
sendiri. Kelembagaan yang diadakan
pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat
untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru
berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan gerakan
koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan
(ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu
diperhatikan berbagai kepentingannya.
d. CATATAN PENUTUP
Beberapa
pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua
prasyarat. Pertama, pendekatan
pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan
secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada
‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan
kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka
sendiri. Dalam hal ini proses pendidikan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat
menentukan. Kedua, diperlukan kerangka
pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai
oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan
pada koperasi dan ekonomi rakyat. Dengan
demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang
partisipatif. Hal ini akan membutuhkan
perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini
diterapkan. Rekonsptualisasi sekaligus
revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam
perspektif pengembangan partisipatif ini.---
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
REVIEW JURNAL
I.
ABSTRAK
Koperasi pada masa Orde Baru
yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam
masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan
yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi
krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat
keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang
strategis pada masa yang akan datang.
Pertama, koperasi
dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan
kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa
pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau
kegiatan lain. Pada tingkatan ini
biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan
oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya
akibat adanya hambatan peraturan.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi
lembaga usaha lain. Pada kondisi ini
masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik
dibandingkan dengan lembaga lain.
Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah
karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan
yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada
pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.
Ketiga, koperasi
menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor
utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit,
yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk
bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan
menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas
anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di
koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah
bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui
kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan
ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.
II.
POINT POINT
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan
kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan
(independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
3. Keberadaan koperasi akan
ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
4. Koperasi akan semakin
dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika
terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
5. Koperasi akan eksis jika
mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a.
. luwes
(flexible) sesuai dengan kepentingan anggota
b.
berorientasi
pada pemberian pelayanan bagi anggota
c.
berkembang
sejalan dengan perkembangan usaha anggota
d.
biaya
transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya
transaksi non-koperasi, dan,
e.
mampu
mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri
III.
PENUTUP
Citra koperasi
tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku
usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’
tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi,
sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan
kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai
sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.
Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah
satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian. Beberapa pemikiran yang
telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat. Pertama, pendekatan pengembangan yang harus
dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan
menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari
lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil
keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini proses pendidikan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat
menentukan. Kedua, diperlukan kerangka
pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai
oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat
kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.
Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah
strategi yang partisipatif. Hal ini akan
membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi
yang selama ini diterapkan.
Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi
faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.
NAMA KELOMPOK :
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
ADITIYA AMANDA (20210181)
MUHAMMAD RASYIID (24210779)
AGUNG MAULANA (20210294)
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
ADITIYA AMANDA (20210181)
MUHAMMAD RASYIID (24210779)
AGUNG MAULANA (20210294)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar