Review Jurnal Koperasi 11
Mubyarto
Akhir-akhir ini
semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya
sejak 1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal,
yang setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon
tahun 1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja
telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi
kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam
perekonomian nasional.
Dalam pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas
berorientasi pada etika (Ketuhanan
Yang Maha Esa), dan kemanusiaan,
dengan cara-cara nasionalistik dan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh
Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat
kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.
Jika suatu
masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke arah
yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar menjadi
lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi dan
sekaligus keadilan sosial.
Profit-Sharing dan Employee
Participation. Prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan
dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi Syariah dan Sistem
Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare state) yang merasa bahwa
penerapan prinsip profit-sharing dan employee participation lebih menjamin
ketentraman dan ketenangan usaha dan tentu saja menjamin keberlanjutan suatu
usaha.
Economic democracy is
typically used to denote a variety of forms of employee participation in the
ownership of enterprises and in the distribution of economic rewards;
Industrial democracy refers
to the notion of worker participation in decision-making and employee
involvement in the processes of control within the firm. (Poole
1989: 2)
Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari
industrial democracy namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang
jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak
(stakeholders) yang terlibat dalam
perusahaan. Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan
pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap
sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan
koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang
bersifat neoliberal.
Prinsip employee participation yaitu partisipasi
buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya
dengan asas profit-sharing. Adanya
partisipasi buruh/karyawan dalam decision-making
perusahaan berarti buruh/karyawan ikut bertanggung jawab atas diraihnya
keuntungan atau terjadinya kerugian.
Banyak perusahaan di negara
kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare state) telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee
participation ini, dan yang paling jelas diantaranya adalah bangun
perusahaan koperasi, baik koperasi
produksi maupun koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.
Mengapa profit-sharing
dan share-ownership? Berdasarkan penelitian 303 perusahaan di Inggris,
alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh
buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989: 70-71):
1.
Komitmen moral (moral
commitment);
2.
Penahanan staf (staff
retention);
3.
Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);
4.
Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);
5.
Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain
(protection against takeover).
Bisa dibuktikan bahwa ke-5 alasan
yang disebut di sini diputuskan manajemen perusahaan karena memang benar-benar
dialami banyak perusahaan lebih-lebih pada perusahaan keuangan yang bersaing
dengan ketat satu sama lain, dan ada kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi
dari staf yang berkualitas. Tanpa kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan
untuk meningkatkan kesadaran ikut memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya
berakibat meningkatkan keuntungan perusahaan. Dalam perusahaan yang berbentuk
koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang
disamping dapat memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi
juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa
hasil usaha (yang sering dikacaukan dengan keuntungan). Inilah “rahasia”
berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan pengurus karena praktek-praktek
manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus
bersifat profit-sharing. Artinya
perusahaan koperasi sering berubah menjadi “koperasi pengurus” bukan “koperasi
anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sangat sejalan dengan
aturan main Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan
ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Mengapa koperasi Indonesia sulit maju? Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan “kecintaan”
para ekonom pada bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan,
karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna, bukan kerjasama
sempurna. Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi
hanya dapat dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi” ilmu ekonomi yang tidak
mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max
Weber, sosiolog Jerman, bapak ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini
sebenarnya sesuai dengan ajaran awal Adam Smith (Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan
dari John Commons di Universitas Wisconsin (1910).
Koperasi yang merupakan
ajaran ekonomi kelembagaan ala John
Commons mengutamakan keanggotaan yang tidak berdasarkan kekuatan modal tetapi
berdasar pemilikan usaha betapapun kecilnya. Koperasi adalah perkumpulan orang
atau badan hukum bukan perkumpulan modal. Koperasi hanya akan berhasil jika
manajemennya bersifat terbuka/transparan dan benar-benar partisipatif.
Keprihatinan kita atas
terjadinya kesenjangan sosial, dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan
bangsa, seharusnya merangsang para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk
mengadakan kajian mendalam menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para
ekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonom
dianggap sudah sangat berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
meyakinkan sehingga menaikkan status Indonesia dari negara miskin menjadi
negara berpendapatan menengah. Krisis multidimensi yang disulut krisis moneter
dan krisis perbankan tahun 1997 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa
bidang ekonomi dianggap “mencakupi” segala bidang sosial dan non-ekonomi
lainnya.
Why economists
disagree? Dan tidak why
lawyer atau sociologists disagree?
Inilah alasan lain mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat
sebagai penganalisis masalah-masalah sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi
bangsanya. Perbedaan pendapat di antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat
terjadi barangkali tanpa implikasi serius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi
di antara pakar-pakar ekonomi maka implikasinya sungguh dapat sangat serius
bagi banyak orang, bahkan bagi perekonomian nasional.
Penutup
Economists today are being
pushed to accept that they may have to take up the role of religion if
they want to understand the full workings of economic systems (Nelson
2001: 206)
Bisa dipahami bahwa
akhir-akhir ini makin berkembang pemikiran dan praktek “bank-bank syariah” yang
berarti secara serius memasukkan ajaran-ajaran agama Islam dalam
praktek-praktek perbankan kapitalis yang telah mengakibatkan krisis moneter dan
krisis perbankan, yang sampai 5 tahun tetap belum teratasi. Bahkan upaya
pemerintah menyelamatkan perbankan nasional dengan mengeluarkan dana-dana amat
besar (obligasi rekap perbankan melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan
tanda-tanda akan berhasil, selama ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam
upaya penyelamatan tersebut.
Di kalangan agama-agama
lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas peranan nilai-nilai agama
untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal yang meluas melalui
globalisasi yang makin merajalela.
Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah mendidik umat
bersama masyarakat agar semakin bersedia melepaskan diri dari keserakahan
modernisme, konsumerisme, dan kolonialisme kultural ke arah pemahaman tanggung
jawab bersama (Konpernas XIX Komisi PSE-KW I, September 2002).
Nilai-nilai agama kini
dianggap banyak orang merupakan satu-satunya cara untuk menantang ajaran-ajaran
neoliberal ini karena paham ekonomi kapitalis dari Barat juga telah
menyebarluaskan ajaran-ajarannya “melalui dan dengan metode-metode agama”.
The real task of Samuelson’s Economics was of this
kind; it was to provide an inspirational vision of human progress guided by
science in order to motivate Americans and other people to the necessary religious
dedication to the cause of progress. (Nelson
2001: 71).
Ekonomi Pancasila adalah
ajaran ekonomi baru yang agamis sekaligus manusiawi, nasionalistik, dan
demokratis, untuk menantang kerakusan ajaran Neoliberal yang semakin rakus.
Bahwa Depdiknas melalui Dirjen Pendidikan Tinggi memberikan dukungan kuat pada
Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM untuk mengembangkan ajaran-ajaran
ekonomi Pancasila, membuktikan kebenaran perjuangan moral ini. Ajaran ekonomi
Pancasila jelas paralel dengan ajaran Ekonomi Syariah atau ekonomi Islami
karena keduanya menekankan pada ajaran moral-spiritual untuk membendung ajaran
“agama ekonomi kapitalis Neoliberal”.
31 Juli 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru
Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM
Bacaan
Boylan,
Thomas A & Paschal F. O’Gorman, 1995, Beyond Rhetoric & Realism in
Economics, Routledge, London.
Colander,
David, 2002, The Death of Neoclassical Economics, Department of
Economics Middlebury College, Vermont.
de Soto,
Hernando, 2000, The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West
and Fails Everywhere Else, Black Swan, London.
Ekins,
Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics, Routledge London
– New York.
Katouzian,
Homa, 1980, Ideology and Methods in Economics, Macmillan, London.
Keen,
Steve, 2001, Debunking Economics, Plato Press, Sydney.
Linder,
Marc, 1977, Anti-Samuelson, New York, Urizen Books.
Matsson,
Kevin, 2002, Intellectuals in Action, University Park PA, The Pennsylvania
State University Press.
Mubyarto,
dan Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia,
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Mubyarto,
Hudiyanto, Agnes Mawarni, Ilmu Koperasi (akan terbit).
Nelson,
Robert, 2001, Economics As Religion, University Park PA, The
Pennsylvania State University Press.
Ormerod,
Paul., 1994, The Death of Economics. New York, Urizen Books.
Poole,
Michael., The Origins of Economic
Democracy, Routledge, London, New York, 1989.
Prychitko,
David L, 1998, Why Economists Disagree, Albany: State University of New
York.
Sardjito,
“Masalah Pendidikan Di Indonesia”, Pidato pada Hari Pendidikan Nasional serta
mengenang kembali Almarhum Ki Hadjar Dewantoro, 3 Mei 1969.
Soekarno,
“12 Kali Tepuk Tangan di BPUPKI: Lahirnya Pancasila”, Pidato pertama tentang
Pancasila yang diucapkan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, 2003,
Panitia Pusat “Silaturahmi Kebangsaan 2003”.
Stiglitz,
Joseph, 2002, Globalization and Its Discontents, New York, W.W. Norton
& Company.
Swedberg,
Richard,. Max Weber and The Idea of
Economic Sociology, Princetown University Press, 1998.
REVIEW JURNAL
I.
ABSTRAK
Krismon yang menghancurkan sektor perbankan
modern kini tidak saja telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo,
dari 240 menjadi kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank
dalam perekonomian nasional. Dalam pada itu Sistem
Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistik
dan kerakyatan (demokrasi). Secara
utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat
kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.
Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy
namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang jika dilaksanakan dengan
disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan. Itulah demokrasi
industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang
paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan
buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada
kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal. Prinsip employee
participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan
perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing.
II.
POINT POINT
Berdasarkan penelitian
303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba
dan pemilikan saham oleh buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989: 70-71):
1.
Komitmen moral (moral
commitment);
2.
Penahanan staf (staff
retention);
3.
Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);
4.
Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);
5.
Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain
(protection against takeover).
Bisa dibuktikan bahwa ke-5 alasan yang disebut
di sini diputuskan manajemen perusahaan karena memang benar-benar dialami
banyak perusahaan lebih-lebih pada perusahaan keuangan yang bersaing dengan
ketat satu sama lain, dan ada kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi dari staf
yang berkualitas. Tanpa kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan untuk
meningkatkan kesadaran ikut memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya
berakibat meningkatkan keuntungan perusahaan.
Ilmu ekonomi ternyata
tidak meningkatkan “kecintaan” para ekonom pada bangun perusahaan koperasi yang
menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna, bukan kerjasama sempurna. Ajaran ilmu ekonomi
Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi hanya dapat dicapai melalui
persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi”
ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman, bapak ilmu
sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awal
Adam Smith (Theory of Moral Sentiments,
1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons di Universitas Wisconsin
(1910).
III.
PENUTUP
Bisa dipahami bahwa akhir-akhir ini makin
berkembang pemikiran dan praktek “bank-bank syariah” yang berarti secara serius
memasukkan ajaran-ajaran agama Islam dalam praktek-praktek perbankan kapitalis
yang telah mengakibatkan krisis moneter dan krisis perbankan, yang sampai 5
tahun tetap belum teratasi. Bahkan upaya pemerintah menyelamatkan perbankan
nasional dengan mengeluarkan dana-dana amat besar (obligasi rekap perbankan
melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhasil, selama
ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam upaya penyelamatan tersebut.
Di
kalangan agama-agama lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas
peranan nilai-nilai agama untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal
yang meluas melalui globalisasi yang makin merajalela.
NAMA KELOMPOK :
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
ADITIYA AMANDA (20210181)
MUHAMMAD RASYIID (24210779)
AGUNG MAULANA (20210294)
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
ADITIYA AMANDA (20210181)
MUHAMMAD RASYIID (24210779)
AGUNG MAULANA (20210294)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar