google.com |
Sudah ada beberapa institusi pemerintah, swasta, dan individu yang mengumumkan kerugian akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya sejak Jumat, 2 Februari 2007. Setidaknya telah diumumkan kerugian riil, terutama dari hilangnya pendapatan/omzet harian, selain kerugian yang ditaksir perusahaan asuransi.
Klaim asuransi diperkirakan lebih dari Rp400 miliar. Angka ini meroket 100% dibandingkan dengan klaim asuransi banjir pada 2002, yang sebesar Rp200 miliar.
Selain itu, potensi kerugian PLN sedikitnya Rp50 miliar, Telkom Rp18 miliar, PT Kereta Api Indonesia Rp1 miliar, BNI Rp2,6 miliar, industri sepatu US$25 juta, pengiriman angkutan peti kemas di Tanjung Priok turun 60%, industri di Cakung tidak beroperasi selama beberapa hari, dan masih banyak lagi. Pukul rata, kerugian dan potensi dapat mencapai triliunan rupiah.
Di Jakarta, tercatat 37 orang tewas akibat banjir dan 219.404 orang mengungsi. Demikian pula di Jabar, 16 orang meninggal dan 410.630 warga mengungsi. Korban tewas di Banten 13 orang, sedangkan 135.555 warga mengungsi. Jumlah korban dan klaim kerugian mungkin bertambah dari waktu ke waktu akibat banjir.
Kantor Menneg PPN/Bappenas melansir kerugian akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya sedikitnya Rp4,1 triliun, sementara Dinas Koperasi dan UKM Jakarta mengklaim kerugian Rp3,1 triliun. Namun, kerugian tersebut belum termasuk harta benda-seperti rumah, perabotan, mobil, motor, surat-menyurat dokumen/administratif-yang tidak diasuransikan.
Kalaupun diasuransikan, masih ada kerugian nonriil yang diderita para korban banjir, seperti kedinginan, capek, kesel, sedih, dan terjangkit berbagai penyakit. Juga, tentu saja, kehilangan waktu untuk berbenah dan mengurus segala administrasi, karena kehilangan dokumen. Belum lagi jika ada korban jiwa yang tidak dapat diukur dengan nilai uang.
Masih ada kerugian lain, seperti diliburkannya sekolah dan kegiatan kampus, pabrik, perusahaan, perkantoran, bahkan ada perusahaan media massa yang tidak terbit. Dana corporate social responsibility perusahaan besar terkonsentrasi pada bantuan banjir, dan hal ini mengambil dana kegiatan lain, seperti beasiswa dan pembangunan sekolah di tempat lain. Intinya, tetap ada potensi kerugian oportunitas bagi pihak lain akibat banjir.
Ada seorang mahasiswa satu perguruan tinggi di Jakarta stres bukan kepalang. Ini karena ujian mahasiswa itu terancam ditunda akibat banjir, sementara dia sudah mendapat pekerjaan baru di negara lain. Untuk dapat memulai bekerja, dia harus membawa bukti kelulusannya. Tetapi si mahasiswa tadi beruntung. Tiga pengujinya menganggap banjir tidak seharusnya mengganggu masa depan seseorang dan ujian tetap dilaksanakan, kendati penguji harus menembus banjir sana-sini.
Dampak ekonomi
Sulit tentu menghitung secara eksak jika semua lini dirinci satu persatu. Dengan demikian, kerugian menjadi dobel, bahkan berlipat ganda dan membuka kemungkinan terjadinya koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini karena harga barang kebutuhan pokok meningkat, sehingga kemungkinan inflasi sangat terbuka, produktivitas menurun, investasi tersendat, apetite investor lokal dan asing di pasar uang dan pasar saham tidak bergairah.
Bagaimanapun, Jakarta adalah pusat perekonomian dan pusat pemerintahan, sehingga seluruh mata dunia akan menyoroti bencana banjir sebagaimana yang terjadi pada 2 Februari 2002.
Kalangan pelaku bisnis berusaha melakukan modeling secara ekonomis dan matematis dari banjir yang lebih dilihat sebagai faktor eksternalitas melalui pengukuran manajemen risiko dan efisiensi. Tetapi masih jarang dirinci faktor eksternalitas tersebut, apakah merupakan faktor yang dapat diminimalisasi, atau malah dihindarkan, ataukah merupakan faktor yang sulit dihadapi dan semua harus menerimanya jika terjadi.
Kalangan pesimistis dapat menilai banjir adalah bencana dan merupakan takdir, sehingga harus menerimanya dengan tabah. Tetapi kalangan optimistis dapat dikatakan tidak akan bersedia dengan sikap nrimo dan menganggap banjir adalah takdir dari Tuhan. Mereka akan menganggap banjir adalah karya manusia seperti termaktub dalam firman Tuhan bahwa “apa yang menimpa kamu dari musibah, disebabkan usaha tanganmu sendiri”. Representasinya adalah alam sungguh tergantung dengan manusia dan setiap kerusakan disebabkan oleh ulah manusia.
Dari berbagai upaya yang dilakukan, banjir disebabkan oleh: Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam.
Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan badai. Ketiga, degradasi lingkungan, seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan penyempitan alur sungai.
Dengan demikian, banyak pihak yang menyatakan banjir di Jakarta dan sekitarnya saat ini karena kurangnya daerah resapan air, baik di hulu maupun di hilir.
Kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur kini meranggas, karena kepentingan pembangunan vila, daerah resapan air di pusat kota berubah menjadi kawasan komersial, pembangunan drainase tidak terkoordinasi, dan sungai jadi bak sampah.
Proyek kongkalikong
Itu semua karena pemerintah kurang tegas terhadap oknum yang memberikan izin pembangunan. Fakta menunjukkan bahwa kawasan komersial yang dibangun di daerah hutan lindung dan kawasan resapan air serta melanggar tata ruang adalah proyek kongkalikong antara pengembang dan pejabat instansi yang berhak mengeluarkan izin.
Selain itu, masyarakat juga tidak disiplin dalam membuang sampah dan memanfaatkan fasilitas umum yang disediakan pemerintah. Tampak bahwa terjadinya kerugian riil dan nonriil akibat banjir dipandang sudah menjadi suatu keniscayaan, bahkan rutinitas beserta penyesalan akibat alasan teknis, seperti tidak berfungsinya kawasan serapan air serta rencana penanggulan yang masih seperti sebelumnya: kurangnya koordinasi antarawilayah dan instansi, kurang disiplinnya pemerintah dan masyarakat, dan alasan lainnya.
Terkesan belum ada tindakan pembaruan yang dapat diupayakan guna meminimalisasi dampak banjir yang ternyata selalu melibatkan alam dan manusia.
Bila dilihat dari besaran kerugian, tampak ada peningkatan dari tahun ke tahun akibat bencana banjir. Apalagi banjir sudah menjadi kejadian menyeluruh di negeri ini.
Berdasarkan data Direktorat Pengairan dan Irigasi, Departemen PU, di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai induk. Dari jumlah ini, 600 sungai induk berpotensi menimbulkan banjir di daerah rawan banjir seluas 1,4 juta hektare.
Jadi, potensi banjir memang sudah ada. Karena itu, sudah saatnya kita memiliki sikap menganggap banjir sekadar sebagai pengaruh alam, sehingga harus responsif dan antisipatif.
Ataukah kita menganggap banjir sebagai akibat pengaruh manusia terhadap alam, sehingga hal ini amat tergantung dari ketegasan pemerintah dalam menindak oknum yang melanggar dan mengeksploitasi hutan dan daerah resapan air.
Bagaimanapun, praktik korupsi dalam proses pembangunan yang sangat merusak lingkungan juga menjadi variabel penting terjadinya bencana alam.
Sebagai contoh, sangat mudah menghitung hasil produksi sektor kehutanan maupun properti komersial yang ditujukan untuk kegiatan ekspor, membuka lapangan kerja, dan tujuan pembangunan lain. Tetapi saat ini masih jarang terdengar kemampuan memperkirakan besarnya biaya riil dan nonriil akibat eksploitasi hutan dan daerah resapan air untuk properti komersial bilamana terjadi banjir.
Saat Ibu Kota dilanda banjir, sudah saatnya semua pihak merenungkan kerugian riil dan nonriil yang terjadi. Pemerintah harus ambil tindakan tegas untuk menghukum segala bentuk eksploitasi alam dengan mempertimbangkan siklus hidup alam dan masyarakat, selain terus-menerus membudayakan hidup ramah terhadap lingkungan.
Dengan demikian, antisipasi dan penanggulangan banjir harus dilakukan melalui pembangunan secara riil dan nonriil dengan menyediakan ruang yang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga tercipta hasil optimal. Kita semua tentu tidak ingin kerugian terus melonjak akibat banjir.
Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
BalasHapuskeep update!Harga Toyota Yaris 2014