google.com |
Beberapa proyek untuk menghalau dampak buruk juga sempat dikemukakan di media massa, seperti pembuatan banjir kanal (timur dan barat), pembuatan ratusan situ di selatan Jakarta untuk menampung luapan air dari daerah Bogor dan Puncak. Jumlah biaya proyek-proyek demikian sampai trilyunan rupiah, sehingga pelaksanaannya belum bisa dipastikan sekarang, karena keperluan pembangunan ekonomi dan sosial yang juga mendesak (dan sifatnya terus menerus) cukup banyak, seperti di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa. Tetapi, “trauma” dari pengalaman banjir yang baru lalu ini pasti juga menambah desakan atau urgensi sehingga “cicilan” pengeluaran akan diperbesar di waktu yang dekat.
Tetapi, sikap “business as usual” bisa juga menjangkiti para pengambil keputusan. Maklumlah, banjir adalah gejala musiman yang setiap tahun kembali di bulan Januari atau Februari, sehingga penduduk dianggap sudah terbiasa. Banjir besar seperti yang baru lalu ini juga hanya terjadi sekali lima tahun. Maka bisa juga “diputuskan” untuk tidak mengeluarkan uang sampai trilyunan, dan uang itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan pendidikan, serta memperbaiki infrastruktur kampung. Anggaran tambahan yang tidak terlalu besar bisa digunakan untuk memperbaiki selokan-selokan dan sistim drainage kota sehingga genangan air tidak terjadi terlalu lama.
Kalau keperluan tambahan anggaran demikian tokh masih besar maka bisa dipertimbangkan untuk menaikkan pajak. Karena tujuannya adalah memperbaiki keadaan di Jakarta, sehingga tidak bisa disebut proyek nasional, maka pajak demikian harus dikenakan kepada penduduk Jakarta saja. Pajak bisa berupa pajak pendapatan atau pajak atas kekayaan atau harta benda. Yang paling cocok adalah pajak PBB, atas tanah dan bangunan, karena penanggulangan banjir lebih terkait kepada (nilai) tanah dan bangunan.
Karena banjir besar yang lalu sempat mengganggu kehidupan normal penduduk dan penguasa di Jakarta maka bisa menimbulkan suasana “krisis”, yakni sesuatu yang mengancam kehidupan normal. Suasana krisis bisa mempunyai berkah, ia bisa membuka mata lebih lebar dan membuat orang lebih bersedia untuk mengurangi kenyamanan yang biasanya ia nikmati. Suasana atau alam fikiran demikian bisa dipergunakan untuk mendorong tercapainya suatu keputusan yang sampai sekarang terkatung-katung. Hal demikian mungkin penting bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sering dilihat ragu-ragu.
Di lain fihak, kita jangan lupa bahwa banjir besar yang lalu menimpa (hanya) Jakarta. Maka pemerintahan Jakarta yang lebih banyak dilanda “krisis” ini. Tetapi, akibat jelek banir di Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah di DKI saja, akan tetapi memerlukan dukungan dari daerah-daerah sekelilingnya, seperti Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Maka Pemerintah Pusat juga harus turun tangan. Kesempatan demikian bisa dipergunakan untuk menyelesaikan salah suatu kesulitan yang dihadapi pelaksanaan otonomi daerah. Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati sering masih rancu. Kalau bisa diselesaikan untuk DKI maka mungkin bisa dibuat contoh untuk lain tempat.
Banjir di Jakarta ini pasti akan menaikkan tingkat inflasi, walaupun mudah-mudahan hanya sedikit. Dampaknya hanya seketika (once over), akan tetapi sesudah itu masih ada keperluan pengeluaran yang banyak untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dalam hal ini sistim perbankan harus lebih banyak menyumbang daripada pemerintah pusat lewat anggaran belanjanya. Maka Bank Indonesia harus memperhitungkan ini.
Kalau inflasi meningkat maka bisa dibilang tidak adil, karena orang di Sulawesi dan Sumatra harus ikut menanggung beban untuk meringankan derita penduduk di Jawa. Akan tetapi begitulah konsekuensi punya NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar