Pendahuluan
sumber : google.com |
Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia
Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak
berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi
anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk
di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa
anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk
memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana
untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan
merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.
Terakhir, kata koperasi yang disebut
sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus
dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh
penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di
negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat
dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha
koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia.
Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi
& UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia
tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak
merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi
yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.
Reformasi Kebablasan
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal
mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakanderegulasi setelah
anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja
bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun
dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa
kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu
membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan
kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis
akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan
bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan
kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk
penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke
Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian
sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah
100 bank. Krismon dankrisbank jelas merupakan rem “alamiah”
atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid)
yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian
besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung
perusahaan-perusahaan multinasional.
Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan
ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak
tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan
ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan
pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya
memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini
ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga
hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi
yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi
tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan
distribusinya tidak merata.
Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah
reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main
berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan
ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika
kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka
artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan
partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang
diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.
Amandemen terhadap Amandemen:
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945
melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah
menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik
panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi
5 ayat berikut:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan (lama)
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat (lama)
- Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal
ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)
Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai
dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena
ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan
kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat
baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya
ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi
berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan
tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan
bertentangan.
Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah
hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomiyang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002
memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.
Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam
amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat
mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33
dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan
memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.
Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a
basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important
than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the
historical record but societies that lack widespread conviction as to their
justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)
Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme
ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun
pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan
kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah
adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs).
Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality
by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there
are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just
problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan
teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai
model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical
man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man).
Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku
pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia
selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia
ethik.
Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak
mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori
ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi
Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik
di Indonesia sendiri.
Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan
teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak
pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi,
dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran.
Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar
penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus
mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung
mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi
mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah
konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan
atau pemecahannya.
Penutup
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama
masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui
organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat
diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri
meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi
anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar
merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang
tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan
lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu”
atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah
yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan
organisasi koperasi.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi,
akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu
ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social
economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana
bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera,
lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien
(melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang
baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis
sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus,
tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus.
Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu
koperasi
The nature of homo ethicus is completely
different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and
cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others.
He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to
others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social
goals (Lunati,
1997:140)
Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah
daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan
“sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol
kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi
desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama
DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar